Assalamu'alaikum!
Ini cerpen saya yang berjudul 'kembali lagi dengan cerita senja'. heheh
Syukron ya udah mau baca ..
Cerpen sederhana tidak begitu mahir. hohoh
Ini cerpen saya yang berjudul 'kembali lagi dengan cerita senja'. heheh
Syukron ya udah mau baca ..
Cerpen sederhana tidak begitu mahir. hohoh
Kicauan
burung kini berubah profesi sebagai penyair dalam kesendirianku sore ini. Dia
membuatku terlarut dalam iramanya yang pelan. Mengingatkanku pada gadis
pujaanku, Si laras yang kini sudah tiada meninggalkanku sendiri. Aku termenung!
Pikiranku hampa seakan-akan ini beban berat yang kualamin selama hidupku. Sudah
2 tahun aku menjalin cinta dengannya. Dan satu tahun lagi kami akan berencana
lanjut ke jenjang pernikahan. Ia memiliki rupa yang menawan dan budi yang baik
hati. Tak sampai hati aku melepaskannya begitu saja. Dia sangat sempurna di
mataku. Aku tetap dalam kesunyianku, berasa hidup didunia sendiri, aku tak
menghiraukan orang lain yang berada disekitarku. Mengingat-ingat kenagan
indahku bersama si larasati.
Aku
sedari tadi mendangar sahutan si jono, teman karibku yang sudah berulang-ulang memanggil
namaku. Aku sudah mengetahui maksudnya, dia meminta bantuan kepadaku untuk membuatkannya
nasi goreng. Dia seorang anak kota yang sangat manja. Mencoba-coba hidup di
desa. Dan ujung-ujungnya menyusahkanku saja.
“Boiga”
Sahutnya kembali terdengar di telingaku. Aku memejamkan mataku. Ingin sekali
rasanya memplester mulutnya untuk tidak berteriak-teriak dari dapur. Aku sedang ingin sendiri bersama angin dan
renungan.
Tiba-tiba
kicauan burung tak lagi terdengar. Renunganku terhenti dan aku melihat sangkar
burung cendet yang menjadi instrumen sudah tak berada di atasku. Malahan
sangkarnyapun tak ada. Lalu aku berdiri dan berbalik kebelakang karna penasaran
dengan hilangnya cendet itu.
Baru
aku melangkahkan kaki dan menaikkan sedikit kepalaku yang berjam-jam tertunduk,
Si jono anak kota itu telah berada diambang pintu sambil memegang sendok
goreng. Gayanya seperti bos disebuah restoran saja. Dengan clemek penuh dengan
saus merah serta tangannya yang terlipat itu membuatku heran dengan sikapnya
saat ini. Tumben dia mau memasak
“Ada
apa lagi dengan kau boiga?” tanyanya dengan logat batak yang pelan seperti
tampak kasihan denganku. “Cendet itu
sudah kutaruh didalam” lanjutnya sambil memalingkan muka sebagai simbol cendet
itu berada di dalam. Aku kembali duduk seperti sedia kala. Lalu, jono
mendekatiku sambil menaruh sendok goreng diatas meja sebelahku.
“Kau
masih mengingatnya?” Tanya jono kembali. Aku tak menjawab sepatah katapun
pertanyaannya. “Sampai kapan kau seperti ini” kesalnya membentakku tiba-tiba.
Aku menaikkan alis sebagai tanda kebingunganku kepada sikapnya yang spontan
itu.
“Tak
usah kau urus lamunanku ini. Urusi saja nasi goreng kau tu dulu. Udah berbau
sampai kesini” Jawabku datar tanpa menatapnya. Mataku masih terfokus dengan
batang pohon kelapa yang letaknya di depan beranda rumah.
“Ya
Tuhan! Aku lupa mematikan apinya!” jono dengan gesitnya berlari. Dan dengan
gesitnya kembali lagi. Aku tak mengharapkan dia datang kembali menganggu renunganku.
Tapi, aku tak ingin bertengkar dengannya saat ini. Bathinku sudah tertekan atas
kepergian si laras. Ditambah lagi dengan kekesalanku dengan sikap anak manja
ini.
“Boiga,
sampai kapan kau seperti ini? Ikhlaskan sajalah kepergiannya itu. Buka hatimu kembali.
Perjalanan kau masih panjang. Jangan kau terus menyesalkan takdir tuhan boi”
ujarnya menasehatiku
“Sudahlah
jon. Aku tidak ingin berdebat denganmu saat ini. Aku ingin sendiri di senja
ini. Menghitung terbenamnya matahari hingga fajar melengkap” Jawabku pelan
“Saat
ini? Saat ini kau bilang?” Tanyanya dengan suara yang sedikit mengeras dari
sebelumnya “Sudah berhari-hari kau berdebat denganku dengan masalah yang sama.
Sampai berbuih mulutku ni menasehati kau. Tak pernah kau dengarkan omonganku.
Kau hanya terus mengikuti hati kau tu yang sudah tertutup dengan si Laras itu”
Ujarnya yang mungkin sedikit kesal dengan prilakuku akhir-akhir ini
Aku
hanya menghebuskan nafas dan menundukkan kepala
“Sekarang,
ayolah kau ikut aku. Selagi senja masih ada dan matahari belum tenggelam. Mari
lekas kau ikuti langkah aku” Ajaknya menarik tanganku.
Ia
menutup pintu dengan rapat, lalu berjalan kedepan. Keluar perkarangan rumah.
Ntah mengapa, aku menuruti langkahnya. Aku heran, kenapa aku bisa menuruti
perkataannya
“kau
mau ajak aku kemana jo?” Tanyaku memulai pembicaraan di perjalanan mengikuti
langkah kaki jono
“Ke
suatu tempat” jawabnya dengan senyuman sumringah. Dia merangkul pundakku dan
memukulnya kuat “Kau ikuti saja aku”
Setelah
lama berjalan. Akhirnya, langkah jono berhenti. Langkahkupun berhenti “Apakah
ini tempatnya?” Tanyaku yang masih heran
“Iya.
Disinilah tempatnya. Aku mengajakmu kesini, karna kau bilang, kau ingin
menghitung terbenamnya matahari bersama senja. Kata orang banyak, senja
terindah itu adalah senja di yang terletak di garis pantai. Makanya ku ajak kau
kesini” jelasnya yang membuatku bingung melihatnya. Sejak kapan dia megetahui ada pantai disekitar
sini. Dia baru saja kubawa ke kampung halamanku sekitar 1 bulan yang lalu.
“Boiga”
panggilnya “Sekarang, coba arahkan matamu ke hamparan laut bebas didepanmu”.
Suruhnya. Aku lalu menghadapkan mataku kedepan melihat hamparan laut bebas yang
tidak ada simbol sama sekali. “Apa yang kau lihat?” Tanyanya pelan sambil
tersenyum padaku.
“Apa
maksud kau jo? Aku tidak melihat apapun disini. Disini sepi, sunyi, tak ada
satupun orang, ombaknyapun tak ada menghempas dari tadi. Hanya air yang
tenang.” Jawabku frontal
Jono
hanya tersenyum lalu memukul pundakku “Beginilah kau sekarang!” ujarnya
mengalihkan mataku ke arahnya. Namun dia melangkahkan kakinya satu langkah
didepanku. Aku menatapnya sedikit heran. “Beginilah kau sekarang! kau terlarut
dalam ketenangan, kesunyian, dan kesendirian. Tak ada hal yang kau tampakkan.
Kau hanya merenung tiada henti” jawabnya
“
Tak ada satupun orang yang mengunjungi pantai ini. Kau tau kenapa? Karna tak
ada hal yang menarik disini bukan? Ombak yang menghempas tak ada. Tak ada yang
berisik disini. Hanya ketenangan air yang sangat pelan terdengar disini”
lanjutnya kembali ke tempatku
“Apakah
kau mau seperti pantai ini? Tak ada yang ingin bersama kau? Kau masih
mengharapkan si laras itu. Sampai kapanpun si laras itu takkan hidup kembali”
nasehatnya
Aku
mulai mencerna omongannya. Memang benar apa yang dibilang oleh jono. Seorang
anak manja yang tiba-tiba seperti inspirator bagiku saat ini. Aku kemudian
duduk di pasir-pasir pinggiran pantai dan merenung kembali. Sampai
kapan aku seperti ini? Jono memang benar. Aku harus merelakan kepergian laras.Dia
memang menjadi pujaan hatiku. Tetapi, mungkin tuhan terlalu sayang kepadanya.
Aku harus merelakannya demi tuhan. Banyak hikmah dibalik ini semua. Aku harus
percaya dengan takdir tuhan.
“Hai
jo!” sapaku yang mungkin membuatnya sedikit heran. “Tak inginkah kau mencari
karang-karang disekitar pinggiran pantai ini! Aku mendengar dari banyak orang
kalau pantai ini banyak karang-karang dipinggirnya” ujarku lalu berdiri dengan
senyum yang sangat lebar
Jono
kaget dengan sikapku, lalu dia tertawa “Boigo!! Kau telah sadar” teriaknya
“Apa-apaan
kau ini! Jadi, dari dulu aku koma! Memanglah kau ini! Bentakku lalu berlari
mengutip karang satu persatu. Dan jonopun mengikutiku mengutip karang-karang
disini.
Senja
menjadi saksi kebahagiaan kami berdua. Matahari kini mulai tenggelam. Aku dan
jono menghitung detik-detik tenggelamnya matahari layaknya anak-anak kecil yang
percaya akan ini. Renungan tak lagi ada. Fajar mulai melengkap. Angin laut
telah terasa disekujur tubuhku. Ini hari yang sangat menyenangkan. Sahabatku,
yang dulu sangat menjengkelkan. Kini berubah menjadi mario teguh bagiku. Aku
akan menikmati setiap hariku seperti dulu dengan candaan serta tawaan yang
menghiasi rumah kos kami berdua
Hari ini, esok, dan selamanya
......
0 komentar:
Posting Komentar