Rabu, 14 Desember 2016

Surat Cinta Untuk Ibu

Edit Posted by with No comments



TO : Wanita yang paling spesial dalam hidupku
From : Dari buah hatimu yang mencintaimu sembunyi-sembunyi

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakaatuh
Ibu, Semoga keadaaanmu senantiasa diberikan rahmat dari Dzat yang Maha Pelindung dan Pemurah.
Mungkin terasa sedikit aneh ketika Ibu menerima surat cinta ini. Surat yang yang pertama kali kubuat untukmu dalam sejarah 18 tahun umurku. Mungkin tidak pernah terbayang olehmu akan menerima sepucuk surat dari daulat negri yang berbeda adat dengan negri kita. Tak terkira menerima selembaran kertas dari buah hatimu sendiri meski komunikasi canggih masih bisa ku andalkan.
Ada beberapa alasan yang melandasarinya, Bu. Dan aku yakin Ibu akan memahaminya sendiri meski aku belum menceritakannya.
Lebih dari itu, aku ingin mengucapkan “Selamat Hari Ibu Untukmu, Sang Surya menyinari dunia. Sosok teguh yang dermawan kasih sayang. Pemeluk terhangat mengalahkan bulu domba yang lembut.
Ntah mengapa tiba-tiba aku ingin sekali menulis surat ini di hari yang spesial dan bermakna bagi seluruh Ibu Indonesia. Aku tidak mengerti gejolak dari perasaan yang benar-benar berbeda ini. Ia terasa awam di hatiku. Belum pernah kurasakan perasaan yang diktator ini, Bu.
Sejak mengambil pilihanku dan berani meninggalkan jarak, aku sedikit menyesal dan terkadang merenung, mengulas kisah lama yang memberikan goresan indah di ingatanku tentang kehangatan di rumah. Ada bagian-bagian yang amat berkesan telah hilang dalam puzzle kehidupanku.
Rasanya, aku ingin menyerah meniadakan hal-hal  yang biasa itu terjadi.
Terbiasa bercerita di pangkuanmu untuk mengeluh kisah sepanjang hari.
Terbiasa dengan memo singkat yang Ibu tempelkan di pintu kamar sebagai kejutan di awal pagi.  
Terbiasa dengan telur separuh matangmu yang tidak pernah tertandingi rasa kelezatannya.
Dan hal-hal biasa lainnya yang tidak lagi kurasakan sejak aku mengambil pilihanku sendiri
Ini adalah semburat rinduku dari mahabah yang likat di jiwaku.
Ibu,
Mungkin dengan surat kecil ini, Ibu akan memahami betapa kekakanakannya aku meski ragaku dewasa.
Betapa jahatnya aku saat mengucapkan 3 kata itu, aku masih digandrungi keraguan.
 Betapa egoisnya aku saat mengucapkan kata maaf yang tulus, lidahku masih kelu.
Tahukah Ibu apa yang terjadi saat ini?
Jujur, air mataku telah rabas sejak pertama kali kuukir akasara ini.
Tahun ini adalah pertama kalinya aku tidak bisa berdampingan denganmu di hari Ibu. Tahun yang pertama kalinya  aku tidak bisa menatap wajah teduhmu di hari keberkahan umurmu, Oktober yang lalu. Dan tahun yang pertama kalinya aku tidak menyentuh tanganmu di hari Raya Idul Adha.
Hal yang pertama itu selalu sulit, Bu. Penuh tantangan dan godaan. Rasanya aku ingin berlari ke rumah jika Allah memberikanku kekuatan kaki seperti Forrest Gump. Astaghfirullah, aku mengkufuri nikmat Allah SWT.
Aku malu, untuk mengungkapkan rasa cinta yang tidak kusadari telah mengelir di dewangga hati. Rasa cinta yang sudah terpatri lama meski syubhat masih menghalangiku.
Tetapi kenyataannya, cintamu melebihi rasa cinta yang berlaba-laba itu. 
Menaruhkan nyawa, mengorbankan waktu, bahkan menguras energi. Semua yang Ibu lakukan semata-mata karena cintamu yang tak ditempa masa, tak tersulur oleh jarak. Tiada jasa yang bisa membalas pengorbanan cinta seperti itu.  Cinta mana yang akan sanggup mengorbankan hal sedemikian besar itu selain dirimu?
Aku malu Ibu, dengan kenyataan rindu yang mendiktatorku masih kalah dengan rindumu.
Aku tau, setiap detik Ibu selalu memikirkanku, Mulutmu tak berhenti berbuih untuk menyebut namaku dalam setiap sujudmu. 10 kali kusebut namamu, 100 kali ibu telah menyebut namaku di dalam do’amu. 100 kali kusebut nama Ibu, Ibu telah mengucapkannya 1000 kali. Dan begitu seterusnya hingga tiada yang mampu berpacu dengan kekuatan rindumu.
Ibu, masih kutahan egoku untuk tidak menangis sejadi-jadinya.
Ingin sekali kutangkap waktu yang lingat berlari dan kukembalikan pada kisahku menjadi anak yang berbakti.  
“Tetaplah teguh. Jangan Rapuh, anakku. Kau seperti burung yang bebas menentukan pilihanmu hendak ingin kemana. Aku tidak akan menghalangi langkahmu. Jangan lupa sholat. Tegakkanlah Ia meski kau sedang sibuk dengan urusan duniamu. Dahulukan ia meski ada hal lain yang belum kau selesaikan. Karena hanya dengan ridho Allah, do’a-do’a yang Ibu ucapkan, akan sampai kepadamu.”
Ibu, masih terlekat di ingatanku silunya suaramu saat mengucapkan kata itu.
Masih kurasakan pelukan yang erat 6 bulan yang lalu ketika garis jarak itu bermula.
Namun, jangan cemas, Ibu. Anakmu tetaplah menjadi gadis yang berprinsip.
“Tiada yang kebetulan di dunia ini. Ada Dzat yang Maha Menorehkan takdir. Yang selalu mengawasi dan memberikan kemudahan bagi hamba-Nya yang selalu berusaha.
Cita-citaku kan kuiringi dengan cinta mu. Merdu amanahmu kan menjadi pantulan dari langkahku.
I Love You, Ibu.
Aku mencintaimu. Sungguh.
Maaf,  jika aku belum bisa membuatmu bahagia.

Bersama surat ini, kutitipkan mahabahku, yang kan ringkai tanpa dilecap oleh do’a khusyu’mu.
Kumohon, tetaplah menjadi sosok Ibu yang selalu merecup. Berseri hingga aku menjadi sarjana nanti. Bersama kita berjuang dalam sujud dan do’a. Dan mulutku takkan berhenti berdo’a agar sang ratu tetap kokoh di singgasana.
Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakaatu

 FebbyAlp
13 Desember 2016
Asrama Oren UNAND