Peristiwa itu diawali dengan suara wanita yang sangat
tedengar serius, tegas dan berwibawa. Sedikit mendayu tetapi tak mencolok.
Lebih mendekati ke tingkat desis rendah namun tak hingga. Ia menyalakan suara
dan tanpa satu orangpun menganggu bertahan pada suasana hanyut itu. Aku yang
dibelakang, tak turut menjadi setan berhati kejam yang mengaggu mereka seenak
saja.
Ketika
waktu dengan evolusi bergulir, ketenangan itu mulai terusik. Diskrepansi
suasana pada sebelumnya, membuat aku terheran-heran dengan apa yang terjadi
kini. Apakah akibat bendera yang terus-menerus menari di singgasana? Atau angin
yang berlalu tanpa permisi untuk lewat? Ataukah seorang yang gagah pekasa
berdiri sendiri sebagai senjata pengawal dari ribuan rakyat yag tertindih mati
akan kelaparan, ia berdiri sebagai sang sigap siaga tatkala menaruh lelah pada
waktu sekejap? Aku meragukan pertanyaan ini.
Tatkala
sang Pembina yang dikatakan sebagai seorang nomor satu dalam upacara formal,
dapat merisaukan ribuan rakyat muda bahkan tua dalam jangkauan kecil. Betapa
gelisahnya mereka ketika kata-kata yang keuar dari sang Pembina tiada berhenti,
tanpa jeda atau bahkan tanpa nada yang memungkinkan untuk sedikit lebih enak di
dengar.
Dengan
pemahaman yang sempit. Itu bukan amanat, melainkan pidato. Dapat berdampak
buruk bagi pendengar maupun pembicara. Bisa saja pembicara mendapat celaan dari
pendengar yang tak tahan akan peistiwa itu. Dan suara pembicara juga akan habis
dengan buih buih gelembung menjerit meminta berhenti
Sekarang, perlu adanya kesadaran untuk berbuat sesuatu.
Meski itu tindakan benar, namun jika over, itu tidak benar lagi. Malah
melenceng dari kebenaran.
Kini, saya hanya bisa bertanya. Siapa yang salah?
Febbyalp
27 oktober 2014
0 komentar:
Posting Komentar