Selasa, 28 Oktober 2014

Kini

Edit Posted by with No comments
Peristiwa itu diawali dengan suara wanita yang sangat tedengar serius, tegas dan berwibawa. Sedikit mendayu tetapi tak mencolok. Lebih mendekati ke tingkat desis rendah namun tak hingga. Ia menyalakan suara dan tanpa satu orangpun menganggu bertahan pada suasana hanyut itu. Aku yang dibelakang, tak turut menjadi setan berhati kejam yang mengaggu mereka seenak saja.
                Ketika waktu dengan evolusi bergulir, ketenangan itu mulai terusik. Diskrepansi suasana pada sebelumnya, membuat aku terheran-heran dengan apa yang terjadi kini. Apakah akibat bendera yang terus-menerus menari di singgasana? Atau angin yang berlalu tanpa permisi untuk lewat? Ataukah seorang yang gagah pekasa berdiri sendiri sebagai senjata pengawal dari ribuan rakyat yag tertindih mati akan kelaparan, ia berdiri sebagai sang sigap siaga tatkala menaruh lelah pada waktu sekejap? Aku meragukan pertanyaan ini.
                Tatkala sang Pembina yang dikatakan sebagai seorang nomor satu dalam upacara formal, dapat merisaukan ribuan rakyat muda bahkan tua dalam jangkauan kecil. Betapa gelisahnya mereka ketika kata-kata yang keuar dari sang Pembina tiada berhenti, tanpa jeda atau bahkan tanpa nada yang memungkinkan untuk sedikit lebih enak di dengar.
                Dengan pemahaman yang sempit. Itu bukan amanat, melainkan pidato. Dapat berdampak buruk bagi pendengar maupun pembicara. Bisa saja pembicara mendapat celaan dari pendengar yang tak tahan akan peistiwa itu. Dan suara pembicara juga akan habis dengan buih buih gelembung menjerit meminta berhenti
Sekarang, perlu adanya kesadaran untuk berbuat sesuatu. Meski itu tindakan benar, namun jika over, itu tidak benar lagi. Malah melenceng dari kebenaran.
Kini, saya hanya bisa bertanya. Siapa yang salah?

Febbyalp
27 oktober 2014

0 komentar:

Posting Komentar