Selasa, 08 Juli 2014

Pernah terjadi

Edit Posted by with No comments


Pernah terjadi


“Bicaralah pada dahan itu kawan. Tanyakan kepadanya, apakah aku benar atau salah?”

              
                Awan membutuhkan air dan matahari untuk membuatnya menjadi hujan. Air sang penghanyut, dan matahari sang penyengat. Aku tak memikirkan kata sang yang menjadi awal dari julukan mereka. Yang kutahu, mereka adalah kunci dari suksesnya awan membuat hujan.
                Aku berteriak pada angin yang menjelma menjadi topan, “Apa yang membuatmu menjadi brengsek? Tidak prihatinkah kau dengan saudaraku? Kau luluhlantahkan mereka yang tak pernah sedikitpun menjadikanmu liar seperti ini.” Dia berhenti, dan pergi tanpa jawaban sama sekali.
                Aku berteriak pada ombak yang menjelma menjadi tsunami, “Apa yang membuatmu rakus akan daratan? Tak pernah kah kau sadari, seorang nelayan yang mempertaruhkan nyawanya digulunganmu hanya untuk membahagiakan keluarganya? Masihkah kau rebut  nyawanya yang berharga itu? Kau rusakkan keluarganya, kau pisahkan mereka? Mereka tak pernah menggodamu. Mereka hanya berdo’a pada angin yang menentukan mereka kemana pergi”. Dia surut, dan pergi tanpa jawaban sama sekali.
                Dengan gagah berani kuberdiri diatas bukit yang tinggi. Merasakan kedamaian yang begitu luar biasa. lalu pohon-pohon disekelilingku menari-nari dengan nada cemooh “Wahai senja, apakah kau bodoh? Itu adalah takdir tuhan. Mengapa kau memarahi mereka? Jika kau marahi mereka, sama saja kau memarahi tuhanmu. Dasar aneh”. Kemudian mereka kembali menari dengan gembiranya disekelilingku tanpa memperdulikan diriku yang hanyut termakan kata.
                Kutatap pohon itu dengan tajam. Dendam telah merasuki bathin murniku. Tetapi, ada yang aneh pada sudut pohon itu. Kulihat pada sudut batangnya, terdapat satu dahan yang tak ikut menari. Dia hanya berdiam diri menatapku prihatin. Kuselipkan mataku ke arahnya. Dan dia mengangguk padaku, dengan senyuman tulus dan besar hati, diberikannya padaku. Dari jutaan dahan yang menari-nari, hanya dia yang tak ikut menari.
                Kuberlari, turun dari bukit yang terjal. Menaruh simpati pada tanah yang kuinjak keras. Kutusuk hawa dingin yang mengepungku sedari tadi. Hanya satu anggukan dari satu dahan, aku telah mengerti dengan keadaan.


“Andai engkau tau kawan. Asaku telah habis dikunyah oleh kerakusan”
Febbyalp
09 juli 2014

0 komentar:

Posting Komentar