Menunggu Serinai Sunyi
“Aku harus menunggunya. Serinai nyaring penutup waktu
kejaman nafsu”
Aku masih termangu menerawang pikiran akan gerak-gerik
segelas cairan bening, yang berada di hadapanku
saat ini. Sembari membuat gendang musik sederhana mengetuk 2 jari, yang tak
lain adalah si manis dan si tengah yang seakan-akan memperbesar volume detakan jam dinding
rumahku.
Sesekali kuperbaiki cara duduk manisku,
Kebosanan telah merenggut waktuku selalu.
Tinggal sendirian di rumah kos yang sepi tanpa seorang teman, membuat
hatiku terus menerus merasa sunyi dan hampa. Sepatah kata pun tak pernah kulontarkan saat aku berada di rumah kecil ini, yang hanya bisa menampung ruang kamar serta ruang
mandiku saja.
Wajahku tak pernah berbeda dengan hari-hari lampau. Penuh surut
dan terjal bila diserupakan dengan jalanan sepi.
Masih seperti biasa, menunggu batasan waktu yang selalu
dinantikan, menambah kekosongan pada jam-jamku yang semakin larut termakan
nafas.
Aku mengambil langkah membaca al-qur’an untuk menunggu
serinai pembatas dikala fajar masih terlelap tidur. Ini keputusan akhirku.
Kejadian sahur yang cukup membosankan, namun harus tetap aku
nikmati. Menunggu kedatangan suara serinai itu, seakan memukul tong besi tanpa
isi, yang nyaring bunyi. Sepi…
0 komentar:
Posting Komentar